Melatih otak agar terbiasa untuk mulai berpikir secara matematis, kreatif, terstruktur, dan logis.
Ide dan Bukan Benda
Karakteristik ketiga dari berpikir komputasional adalah lebih mengutamakan ide atau gagasan daripada benda. Dengan kata lain, dalam memecahkan suatu masalah yang sedang dihadapi, sebaiknya lebih mengutamakan untuk menggunakan konsep komputasional. Tidak hanya itu, ide atau gagasan ini, sebaiknya juga digunakan pada kegiatan sehari-hari, mengatur kehidupan sehari-hari, dan digunakan ketika melakukan interaksi sosial dengan orang lain.
Pada karakteristik ini, bisa dibilang jika konsep komputasional ini bisa dilatih agar terbiasa untuk menggunakannya. Hal ini perlu dilakukan karena konsep komputasional bisa memberikan banyak manfaat bagi kehidupan yang kita jalani. Tidak hanya itu, konsep komputasional bisa mengembangkan kemampuan kita dalam memahami suatu masalah, sehingga dapat menemukan solusi dari suatu masalah dengan mudah.
Karakteristik keempat dari berpikir komputasional adalah saling melengkapi antara teknik dan matematis. Saling melengkapi bisa diartikan layaknya komputer sains yang sangat berhubungan dengan erat dengan berpikir matematis. Bukan hanya melengkapi saja, tetapi kita juga harus terbiasa untuk mengombinasikan antara pemikiran matematis dengan pemikiran teknis.
Ketika melengkapi dan mengombinasikan pemikiran matematis dan pemikiran teknik, maka secara tidak langsung kita sudah bisa membedakan berbagai macam hal yang dapat menguntungkan atau merugikan diri kita. Selain itu, kita akan mudah mengerjakan suatu hal yang sangat berkaitan dengan matematis, seperti membangun suatu bangunan yang dilakukan oleh seorang insinyur atau arsitek.
Manfaat Berpikir Komputasional
Berpikir komputasional memiliki beberapa manfaat, di antaranya:
Menerapkan Cara Manusia Berpikir Bukan Cara Komputer Berpikir
Karakteristik ketujuh dari berpikir komputasional adalah menerapkan cara manusia berpikir bukan cara komputer berpikir. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, jika berpikir komputasional adalah suatu metode atau cara seseorang untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah. Oleh karena itu, setiap manusia harus menggunakan cara berpikirnya sendiri bukan mengikuti cara berpikir komputer.
Pada karakteristik ini, seharusnya seseorang mulai menyadari bahwa dirinya memiliki kemampuan yang lebih hebat daripada komputer. Maka dari itu, dalam memecahkan suatu permasalahan, manusia harus sadar bahwa komputer itu dikendalikan oleh manusia bukan manusia yang dikendalikan oleh komputer. Dengan menyadari hal seperti itu, maka suatu permasalahan akan mudah untuk diselesaikan atau dipecahkan.
Sesuai dengan Konsep Bukan Pemrograman
Karakteristik kedua dari berpikir komputasional adalah sesuai dengan konsep bukan pemrograman. Dengan kata lain, komputer dan sains bukan hanya suatu pemograman komputer saja, tetapi kita harus bisa berpikir seperti orang yang sudah mahir dalam dunia komputer dan sains. Bahkan, sebaiknya kita juga memahami program-program yang ada di dalam komputer.
Pada karakteristik ini, seseorang harus terbiasa menggunakan program-program yang ada di dalam komputer sejak usia dini, sehingga akan mudah untuk memahami konsep berpikir komputasional. Selain itu, kita akan mahir dalam menjalankan pemrograman komputer lebih cepat. Apabila sudah mahir dalam menggunakan pemrograman komputer, maka kita akan mudah untuk mengikuti perkembangan zaman dan bisa beradaptasi dengan teknologi.
Pengertian Berpikir Komputasional
Dikarenakan kita hidup berdampingan dengan teknologi, maka kita perlu berpikir seperti sebuah mesin yang dapat bergerak dengan dinamis. Oleh sebab itu, berpikir komputasional bisa adalah sebuah konsep atau cara untuk mengamati masalah dan mencari solusi dari permasalahan tersebut dengan menerapkan teknologi ilmu komputer. Dengan berpikir komputasional, seseorang akan mampu untuk mengamati masalah, memecahkan masalah hingga bisa melakukan mengembangkan solusi dari pemecahan masalah.
Pada dasarnya, berpikir komputasional memang mengadaptasi sebuah pemikiran atau cara kerja yang berasal dari komputer. Akan tetapi, beberapa orang masih beranggapan bahwa berpikir komputasional itu harus memakai aplikasi komputer. Pada kenyataannya yang dimaksud dalam berpikir komputasional tidak harus menggunakan komputer.
Istilah Computational Thinking atau disingkat menjadi CT atau berpikir komputasional untuk pertama kalinya diperkenalkan secara umum pada tahun 1980 dan 1996 oleh Seymor Papert. Seiring dengan berjalannya waktu, di tahun 2014, pemerintah Inggris mulai membawa materi pemrograman ke dalam kurikulum sekolah dasar hingga sekolah tingkat menengah. Dimasukkannya materi pemrograman ke dalam kurikulum pendidikan agar para siswa sudah mengenal teknologi sejak dini. Selain itu, pada siswa juga diharapkan mampu berpikir komputasional sejak dini.
Program yang dilakukan oleh pemerintah Inggris itu ternyata didukung oleh tokoh-tokoh yang memiliki pengaruh dalam bidang teknologi, seperti Bill Gates, Mark Zuckerberg, dan lain-lain. Fasilitas yang dapat menunjang proses kegiatan belajar tersebut dibantu oleh perusahaan Google melalui pelatihan secara online supaya guru atau tenaga pendidik dapat memahami dan menguasai Computational Thinking (CT).
Pada dasarnya, untuk berpikir komputasional memang tidak mudah atau bisa dibilang membutuhkan usaha yang lebih. Meskipun, susah untuk dilakukan, tetapi kita harus percaya dan yakin bahwa kita bisa mengubah pola berpikir kita menjadi pola berpikir komputasional. Oleh karena itu, kita harus membiasakan diri untuk berpikir komputasional dalam situasi apapun. Jika, sudah terbiasa untuk berpikir komputasional, maka kita akan merasakan dampak positifnya, yaitu dapat berpikir dengan cepat, mudah, dan tepat.
Supaya terbiasa untuk berpikir komputasional, sebaiknya seorang sudah diajarkan sejak dini untuk berpikir komputasional. Alangkah baiknya, setiap sekolah yang ada di Indonesia sudah mulai memasukkan kurikulum pemrograman ke dalam kurikulum pendidikan sekolah dasar dan sekolah menengah, sehingga pola berpikir komputasional sudah bisa ditanamkan sejak dini.
Oleh Reza A.A Wattimena
Immanuel Kant, salah satu pemikir Eropa terbesar, menulis sebuah buku pendek pada akhir tahun 1784 di Prussia. Judulnya adalah Beantwortung der Frage: Was ist Aufklärung? Dalam bahasa Indonesia: Jawaban atas Pertanyaan, Apa itu Pencerahan? Ada satu paragraf penting yang kiranya perlu saya tulis disini.
“Pencerahan adalah keluarnya manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Ketidakdewasaan adalah ketidakmampuan untuk menggunakan akal budi, tanpa pengarahan dari orang lain. Ketidakdewasaan ini dibuat oleh dirinya sendiri, karena sebabnya bukanlah kurangnya akal budi itu sendiri, melainkan karena kurangnya keberanian untuk berpikir tanpa pengarahan dari orang lain. Sapere Aude! Beranilah berpikir berpikir sendiri! Itulah semboyan dari Pencerahan.” (Kant, 1784)
Dengan kata lain, menurut Kant, inti dari Pencerahan adalah keberanian untuk berpikir sendiri. Orang tidak tunduk pada pengarahan orang lain secara buta. Orang tidak mengikuti saja tradisi, tanpa tanya. Ini bukan hanya ciri dari Pencerahan, tetapi juga ciri dari kedewasaan.
Dengan pola ini, Eropa masuk ke Era Pencerahan. Tradisi dipertanyakan ulang. Agama disingkirkan dari politik ruang publik, dan masuk ke ranah pribadi. Ini tentu sebuah proses yang panjang. Namun, semua ini sungguh mengubah wajah peradaban Eropa pada saat itu.
Berbagai penemuan di bidang ilmu pengetahuan terjadi. Eropa menjadi negara industri dengan tingkat produktivitas ekonomi yang besar, serta kekuatan militer yang perkasa. Sisi gelap dari ini pun tak bisa diabaikan. Penjajahan terhadap berbagai negara Afrika dan Asia pun terjadi dengan korban jiwa dan harta benda yang amat sangat besar.
Era Pencerahan juga memacu revolusi industri. Sampai sekarang, di era revolusi industri keempat, pengaruh semangat pencerahan pun masih terus terasa. Keberanian berpikir sendiri melahirkan mentalitas dan metode penelitian ilmiah. Dari berbagai segi, mulai dari teknologi, ekonomi sampai kebudayaan, Eropa menjadi yang terdepan.
Pencerahan di Indonesia
Keadaan sebaliknya terjadi di Indonesia. Keberanian berpikir sendiri dianggap musuh dari tradisi. Orang-orang yang melakukannya pun dikucilkan. Ketidakdewasaan justru dianggap hal yang baik.
Ini terjadi, karena tiga hal mendasar. Pertama, tradisi adalah sesuatu yang menakutkan. Orang mengikutinya, kerap kali bukan karena kekaguman, melainkan karena ketakutan akan dikucilkan. Rasa takut ini melahirkan kebiasaan konformisme sosial yang akut, yakni dorongan untuk terus mengikuti apa kata masyarakat, tanpa sikap kritis sama sekali.
Dua, budaya kepatuhan buta telah mengakar di Indonesia. Orang patuh pada otoritas begitu saja, terutama otoritas terkait dengan agama. Padahal, belum tentu otoritas tersebut mengandung akal sehat dan kebijaksanaan. Ini membuat manusia Indonesia cenderung tidak berpikir sendiri, dan, dengan demikian, juga tidak dewasa.
Tiga, semuanya kembali pada mutu pendidikan yang teramat rendah di Indonesia. Banyak hal-hal tak berguna diajarkan dengan metode yang merusak di berbagai institusi pendidikan Indonesia. Kepatuhan buta dan hafalan mutlak menjadi hal yang wajib dilakukan, tanpa tanya. Nalar kritis dan pencarian lebih dalam pun menjadi amat tumpul.
Berani Berpikir Sendiri
Jalan keluar dari semua ini sebenarnya cukup sederhana. Pertama, tradisi perlu ditempatkan secara tepat di dalam kehidupan bersama. Di satu sisi, tradisi banyak mengandung kebijaksanaan dari berbagai generasi sebelumnya. Di sisi lain, tradisi tetap harus dibaca dengan sikap kritis dan bijak. Jaman terus berubah, dan sebagian dari tradisi harus ikut berubah bersamanya. Peran keberanian untuk berpikir sendiri amat penting disini.
Dua, bangsa kita harus mulai melatih mengembangkan otonomi pribadi. Artinya, orang diajak untuk mempertimbangkan sendiri arah dan bentuk tindakannya. Ia tidak diberikan perintah mutlak dari luar yang memasung kreativitasnya. Otonomi pribadi akan melahirkan keberanian berpikir sendiri yang juga merupakan tanda kedewasaan seseorang.
Tiga, ini semua memang kembali pada mutu pendidikan. Pendidikan yang mengembangkan nalar kritis, akal sehat dan kreativitas harus dikembangkan di Indonesia. Kepatuhan buta dan hafalan mutlak di dalam semua unsur pendidikan harus sungguh dibuang. Formalisme agama, yang kini tersebar di Indonesia, juga harus segera diakhiri.
Hanya dengan pola ini, Indonesia bisa mengalami era pencerahan yang juga dikenal sebagai era fajar budi. Di abad 21, hal ini menjadi amat penting, tidak hanya dalam persaingan dengan bangsa-bangsa lain, tetapi juga untuk keberadaan bangsa Indonesia itu sendiri. Bangsa yang rakyatnya berani berpikir sendiri adalah bangsa yang dewasa. Sudah terlalu lama Indonesia hidup dalam penjajahan bangsa lain, baik penjajahan ekonomi maupun budaya.
Berani berpikir sendiri adalah sebuah langkah besar. Namun, pikiran juga adalah sesuatu yang mesti dipahami dengan tepat. Ketika pikiran menjadi alat untuk memahami segalanya, maka beragam masalah akan muncul. Di tingkat sosial, masalah yang tersebar adalah penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan yang berlebihan, sehingga menimbulkan kerusakan alam. Di tingkat pribadi, penggunaan pikiran yang berlebihan akan menciptakan berbagai penyakit mental, mulai dari stress, depresi, kecanduan narkoba sampai dengan bunuh diri.
Keberadaan pikiran haruslah sungguh dipahami. Bagian pertama dari pikiran adalah intelek. Tugasnya adalah memahami dunia dengan membelahnya ke dalam bagian-bagian yang kecil. Inilah yang kita gunakan di dalam ilmu pengetahuan. Intelek adalah bagian dari pikiran yang amat berguna, namun dimensinya amat terbatas.
Bagian kedua pikiran adalah identitas. Ini adalah pandangan tentang siapa diri kita, seperti warga negara, suku, ras maupun agama. Fungsi identitas adalah mengendalikan intelek. Orang akan menggunakan inteleknya semata untuk melindungi dan mengembangkan identitasnya.
Bagian ketiga adalah ingatan. Disini terkandung juga bahasa sebagai alat untuk berpikir, sekaligus untuk menyampaikan maksud. Ingatan tidak hanya ingatan di dalam kepala, tetapi ingatan di dalam tubuh, termasuk di dalam sel-sel yang dimiliki manusia. Ingatan memberikan bahan kepada intelek dan identitas untuk menjalankan fungsinya.
Bagian keempat adalah kesadaran murni. Ia tidak tersentuh oleh ingatan, identitas ataupun intelek. Sebaliknya, kesadaran murni yang memungkinkan ingatan, identitas dan intelek bisa menjalankan perannya. Dengan menyentuh ini, orang tidak lagi terjebak pada kecenderungan untuk berpikir berlebihan.
Intelek, identitas dan ingatan pun bisa digunakan secara tepat. Orang akan mengalami kebebasan, tidak hanya dari penjajahan masyarakat, tetapi juga dari kecenderungan berpikir berlebihan yang menciptakan penderitaan. Keseimbangan di dalam kehidupan lalu akan sungguh tercipta. Berani berpikir sendiri akan menjadi berkah yang membawa pencerahan pada tingkat pribadi maupun sosial.
Pikiran adalah sesuatu yang harus digunakan secara mandiri,… sekaligus untuk dilampaui…
Bab 1 Berani Berpikir Sendiri!
Selalu asah dan tambah kecakapan Saudara. Apa yang sudah Saudara kuasai sampai hari ini, insyaallah akan menjadi modal awal untuk berkontribusi dengan beragam peran. Tapi ingat, lingkungan berubah, tuntutan bertambah.
Sangat mungkin, suatu saat di masa depan yang tidak terlalu jauh, kecakapan yang kita punya akan tidak relevan lagi. Meski demikian, jangan sampai Saudara mengganggap masa depan itu mengerikan. Selama kita menjadi pembelajar sejati, kita harus menjemput masa depan dengan suka cita dan penuh keyakinan. Saudara adalah para pemimpin masa depan.
Banyak dari kita merasa cukup dengan apa yang sudah diketahui. Karenanya, mereka lupa untuk terus belajar. Saya khawatir ‘mereka’ ini termasuk ‘kita’. Adam Grant (2021) dalam bukunya Think Again memberikan beberapa resep untuk tidak terjerat pada jebakan ini. Berikut beberapa di antaranya.
Pertama, kita harus berani berpikir ulang (rethinking) dan melupakan pelajaran lama (unlearning). Berpikir ulang dapat dilakukan dengan mengubah perspektif kita, mempertimbangkan informasi baru, dan bersedia mengambil kesimpulan, solusi, atau sudut pandang yang berbeda.
Seringkali apa yang sudah kita pelajari di masa lampau juga perlu dilupakan. Perspektif lama sangat mungkin tidak relevan lagi. Kita juga bisa menemukan kelemahan pelajaran yang kita dapatkan karena sumber yang tidak terpercaya, menemukan bukti baru, ada masalah ketika dijalankan, atau karena refleksi mendalam kita sendiri. Ini mirip dengan meninggalkan amalan yang selama ini kita lakukan, karena ternyata berdasar hadis palsu.
Menyiapkan diri menerima hal baru ibarat mengosongkan sebagian isi teh cangkir kita, supaya teh yang lebih hanya bisa dituang ke dalamnya. Selama kita merapa sudah paripurna, maka informasi baru tidak akan pernah dihargai dan mendapatkan tempat.
Kedua, berpikir ulang terus menerus adalah budaya saintis. Kita harus berpikir seperti saintis, bahkan meskipun peran kita ke depan bukanlah seorang saintis. Seorang saintis mempunyai pertanyaan, mempertimbangkan bukti, tidak terjebak pada asumsi, dan mengujinya dengan seksama. Seorang saintis cenderung selalu skeptis, tidak mudah percaya dengan banyak hal yang tanpa didasari argumen dan bukti.
Mengapa hoaks bisa menyebar dengan cepat? Salah satunya adalah karena banyak pengguna media sosial tidak berpikir seperti saintis, bahkan di kalangan saintis. Kesadaran harus dijaga, karena profesor pun kadang lupa kalau dia seorang saintis.
Grant (2021) dalam bukunya memberikan pembeda ekstrim antara sebagai saintis, penceramah, jaksa penuntut, dan politisi. Seorang penceramah selalu mencoba meyakinkan orang lain bahwa mereka benar. Seorang jaksa senantiasa berusaha membuktikan bahwa orang lain salah. Seorang politisi terus berjuang memenangkan hati konstituennya. Seorang saintis mendasarkan keyakinannya pada argumen yang disertai bukti dan selalu terbuka dengan teori baru (McIntyre, 2019). Tentu, kita bisa diskusikan perbedaan ini, karena saat ini, semuanya sangat mungkin saling beririsan.
Keempat, kita dituntut dapat membedakan antara budaya kinerja (culture of performance) dan budaya pembelajaran (culture of learning). Yang pertama mengedepankan hasil, prestasi, atribusi, dan pengakuan. Budaya ini, jika disalahpamahi dapat melemahkan pembelajaran dan perbaikan, menyembunyikan kesalahan, dan menoleranasi praktik tidak etis.
Sebagai ilustrasi, ketika menjadi juara kelas adalah tujuan dan segala-galanya, dan bukan dianggap sebagai dampak karena menyelesaikan pekerjaan rumah dan ujian dengan baik, maka tidak jarang banyak godaan untuk menghalalkan semua cara termasuk berbuat curang dan menghinakan orang lain.
Dalam budaya pembelajaran, kita bisa saling tidak sepakat tanpa rasa khawatir. Kalaupun ada konflik, kita tidak membingkainya sebagai konflik hubungan (relationship conflict), tetapi sebagai konflik tugas (task conflict).
Konflik hubungan melibatkan orang yang terlibat, siapa yang benar, kompeten, bermoral, peduli, dan sebagainya. Konflik ini biasanya menghambat kemajuan. Konflik tugas adalah tentang masalah, tantangan, dan situasi. Konflik ini justru memantik pelajaran dan tilikan baru, mendorong pemecahan masalah, dan menumbuhkan inovasi.
Menyukuri ketidaktahuan
Untuk menjamin relevansi keberadaan Saudara dan untuk memastikan kontribusi terbaik, pilihannya tidak banyak. Salah satunya adalah dengan terus belajar. Dari beragam sumber, dengan berbagai cara.
Untuk menjaga adaptabilitas dalam menghadapi masa depan, kita sudah seharusnya bersyukur jika mengetahui apa yang belum kita ketahui dan bukan malah malu. Hanya dengan demikian, kita akan terus berpikir ulang dan belajar. Tidak ada garis finis dalam kamus pembelajar sejati.
McIntyre, L. (2019). The scientific attitude: Defending science from denial, fraud, and pseudoscience. MIT Press.
Grant, A. (2021). Think again: The power of knowing what you don’t know. Penguin.
Sambutan pada acara wisuda Universitas Islam Indonesia pada 29 Juli 2023
Computational Thinking
Saat ini, kita sebagai manusia diberikan anugrah dapat berpikir untuk mencari jawaban dari suatu permasalahan. Seiring berjalannya waktu cara berpikir manusiapun ikut mengalami perubahan. Perkembangan Teknologi Informasi memberikan dampak terhadap cara berpikir kita yang saat ini cenderung menjadi lebih cepat dan mudah. Saat ini terdapat istilah Computational Thinking atau berpikir komputasional yang mungkin masih banyak diantara kita masih asing dengan istilah tersebut. Pada kesempatan ini akan kita belajar mengenai apa itu berpikir komputasional dan bagaimana tahapan serta pengaplikasiannya dalam membantu kita menyelesaikan persoalan dalam kehidupan sehari-hari.
Pertama, kita belajar tentang apa itu Berpikir komputasional.
Berpikir komputasional merupakan metode pemecahan masalah dengan menerapkan teknologi ilmu komputer atau informatika. Berpikir komputasional juga dapat diartikan sebagai konsep tentang cara menemukan masalah yang ada di sekitar, dengan mengamati lalu mengembangkan solusi pemecahan masalah. Mungkin tidak sedikit orang mengira jika berpikir komputasional haruslah menggunakan aplikasi yang terdapat pada komputer. Namun pada kenyataannya berpikir komputasional juga dapat diterapkan untuk memecahkan masalah di semua disiplin ilmu seperti ilmu pengetahuan alam, humaniora, dan matematika. Istilah Computational Thinking (CT) atau berpikir komputasional pertama kali dikenalkan oleh Seymor Papert di tahun 1980 dan 1996. Kemudian di tahun 2014, pemerintah Inggris memasukkan materi pemrograman ke dalam kurikulum sekolah dasar dan menengah dengan tujuan memperkenalkan berpikir komputasional kepada siswa sejak dini. Bahkan program tersebut juga mendapat dukungan dari Mark Zuckerberg (Facebook), Bill Gates (Microsoft), dan lainnya. Google juga terlibat dalam memberikan fasilitas kepada guru agar dapat menguasai CT yang menjadi salah satu keahlian yang harus dikuasi di abad 21 ini melalui kursus online. Berpikir komputasional sangat dibutuhkan di zaman saat ini. Hal ini berhubungan dengan penyelesaikan masalah yang cenderung lebih sederhana, mudah dan tidak membutuhkan waktu yang banyak. Bahkan model penyelesaikan masalah dapat digunakan untuk model permasalahan lainnya.
Kedua, kita belajar apa manfaat Berpikir Komputasional.
Ada beragam manfaat yang diperoleh dari berpikir komputasional, antara lain:
Ketiga, kita belajar Karakteristik Berpikir Komputasional.
Berpikir komputasional ternyata memiliki beberapa karakteristik, yakni:
Keempat, kita belajar Tahapan Berpikir Komputasional
Cara berpikir komputasional menggunakan berbagai teknik dasar dan tahapan sebagai berikut:
Merupakan metode yang digunakan untuk memecahkan masalah besar dan kompleks menjadi masalah yang lebih kecil, sehingga masalah tersebut menjadi lebih mudah diselesaikan. Tidak hanya itu saja, dekomposisi memberikan kemudahan untuk melakukan sebuah inovasi.
Pengenalan pola tentu menggunakan komputer yang dapat digunakan dalam menemukan keteraturan dalam data serta mendapatkan informasi penting untuk memahami keteraturan yang telah ditemukan.
Tujuan dari pengenalan pola untuk memberikan komputer suatu kemampuan dalam mendeteksi keberadaan objek di lingkungan serta menentukan identitas objek. Di kehidupan sehari-hari pengenalan pola dapat berupa mengenal suara, mengingat wajah manusia hingga memprediksi cuaca.
Abstraksi menjadi proses dari suatu metode berpikir komputasional yang terfokus pada hal-hal relevan dengan masalah yang dihadapi dan mengabaikan hal yang tidak diperlukan dalam menyelesaikan masalah.
Cara berpikir alogaritma merupakan berpikir dengan menggunakan rencana serta langkah instruksi secara sistematis untuk menyelesaikan masalah. Alogaritma sendiri digunakan dalam berbagai proses perhitungan, otomatisasi, hingga pemrosesan data.
Meskipun demikian alogaritma tidak hanya digunakan dalam menulis program komputer saja, namun juga dimanfaatkan dalam memecahkan masalah di kehidupan sehari-hari.
Demikian langkah menyelesaikan persoalan dengan berpikir komputasional. Dimana perihal diatas dapat diterapkan dalam kehidupan kita sehari-hari, sekaligus membiasakan kita supaya dapat selalu berpikir dan menyelesaikan persoalan dengan cara smart.
Untuk dapat berlatih berpikir komputasional kita dapat mengikuti aktivitas yang mengedukasi kemampuan problem solving secara langsung dengan mengunjungi Bebras Challenge Indonesia.
Semoga bermanfaat dan salam sehat serta tetap jaga kesehatan anda dengan mematuhi protokol kesehatan.
F. Denie Wahana, S.Kom.
Guru Informatika SMP Negeri 1 Salatiga
Karakteristik Berpikir Komputasional
Setelah membahas tentang pengertian dari berpikir komputasional, kini pembahasan selanjutnya adalah berpikir komputasional. Karakteristik berpikir komputasional sebagai berikut.
Memudahkan seseorang mengamati masalah dan menemukan solusi dari permasalahan tersebut. Semakin banyak solusi yang dimiliki, maka suatu masalah dapat diselesaikan dengan efektif dan efisien.
Cara Berpikir Komputasional
Supaya lebih mudah dalam menerapkan berpikir komputasional dalam kehidupan sehari-hari, maka kita perlu mengetahui cara atau tahapan untuk berpikir komputasional. Di bawah ini akan dijelaskan cara berpikir komputasional.
Dekomposisi adalah suatu metode atau konsep yang berfungsi untuk menemukan solusi dari suatu permasalahan yang kompleks dan besar menjadi masalah yang lebih kecil. Apabila suatu permasalahan yang besar dan kompleks menjadi kecil, maka permasalahan tersebut mudah untuk diselesaikan. Bahkan, dekomposisi bisa digunakan untuk memudahkan kita dalam menemukan dan menerapkan sebuah inovasi. Misalnya, kita menjual suatu produk, kemudian agar produk itu diinovasi, maka kemungkinan besar produk tersebut akan laku terjual.
Pengenalan pola adalah suatu metode yang memanfaatkan komputer yang digunakan untuk menemukan sebuah keteraturan yang ada di dalam data dan untuk mendapatkan informasi yang lebih penting agar bisa memahami tentang keteraturan yang sudah ditemukan. Pengenalan pola ini biasanya dilakukan ketika kita mengenali seseorang dari suara, wajah, bahkan pengenalan pola ini bisa digunakan untuk memprediksi cuaca. Pada suatu fenomena alam, sebenarnya pengenalan pola sudah bisa dilihat pada pola rotasi bumi, pola rasi bintang, pola pada daun, dan sebagainya.
Abstraksi adalah suatu metode berpikir komputasional yang mengutamakan terhadap hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah yang sedang dihadapi. Selain itu, konsep abstraksi ini akan meninggalkan berbagai macam hal yang dianggap tidak bisa digunakan untuk menyelesaikan suatu masalah.
Algoritma adalah suatu pola pikir yang biasa digunakan untuk merencanakan langkah-langkah yang bersifat sistematis untuk memecahkan masalah yang sedang terjadi. Meskipun, algoritma ini sering dikaitkan dengan penghitungan, tetapi metode berpikir ini bisa digunakan untuk menyelesaikan berbagai macam masalah yang ada di dalam kehidupan sehari-hari.
Di zaman yang semakin modern dan serba dinamis ini, sudah seharusnya bagi setiap manusia untuk memiliki pola berpikir yang cepat dan dinamis juga agar tidak tertinggal dengan individu-individu lainnya. Maka dari itu, setiap manusia sebaiknya sudah mampu berpikir komputasional apalagi saat ini penggunaan teknologi sudah tak bisa dihindari lagi dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan berpikir komputasional, seseorang akan mudah untuk mengamati masalah, mencari solusi dari suatu permasalahan, memecahkan permasalahan, dan dapat mengembangkan solusi atau pemecahan masalah. Selain itu, berpikir komputasional mengasah diri kita untuk berpikir lebih efektif dan efisien.
Sumber:Dari berbagai macam sumber
Bangsa Indonesia baru saja memperingati hari lahirnya Pancasila. 1 Juni 1945 merupakan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia dalam menegaskan jati dirinya sebagai bangsa yang merdeka. Pancasila menjadi landasan kehidupan berbangsa dan bernegara bagi individu, kelompok, dan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai filosofis Pancasila pun sangat berpengaruh terhadap jati diri bangsa Indonesia, terutama dalam pola pikir setiap warga negara. Berkaitan dengan itu, tulisan ini memfokuskan pada urgensi nilai Pancasila terhadap kemerdekaan berpikir setiap warga negara Indonesia, karena warga negara berperan penting untuk kemajuan suatu bangsa di kemudian hari.
Sebagai suatu dasar filsafat negara maka sila-sila Pancasila merupakan suatu sistem nilai, oleh karena itu sila-sila Pancasila pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan. Meskipun dalam setiap sila terkandung nilai-nilai yang memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya namun kesemuanya itu tidak lain merupakan suatu kesatuan yang sistematis. Penulis dalam hal ini menekankan pada nilai sila ke-dua Pancasila yaitu “Kemanusiaan yang adil dan beradab”, sebagai salah satu landasan kemerdekaan berpikir bangsa Indonesia. Apa maksudnya? Berikut merupakan penjelasannya.
Nilai Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Sila kemanusiaan sebagai dasar fundamental dalam kehidupan kenegaraan, kebangsaan, dan kemasyarakatan. Nilai kemanusiaan ini bersumber pada dasar filosofis antropologis bahwa hakikat manusia adalah susunan kodrat rohani (jiwa) dan raga, sifat kodrat individu dan makhluk sosial, kedudukan kodrat makhluk pribadi dan sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam sila kemanusiaan terkandung nilai-nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Oleh karena itu dalam kehidupan kenegaraan terutama dalam peraturan perundang-undangan negara harus mewujudkan tercapainya tujuan ketinggian harkat dan martabat manusia, terutama hak-hak, kodrat manusia sebagai hak dasar (hak asasi) harus dijamin dalam peraturan perundang-undangan negara.
Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung nilai suatu kesadaran sikap moral dan tingkah laku manusia didasarkan pada potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kebudayaan pada umumnya baik terhadap diri sendiri, terhadap sesama manusia maupun terhadap lingkungannya. Selanjutnya, nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Sedangkan nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama (Kaelan, 2014).
Urgensi Nilai Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Terhadap Kemerdekaan Berpikir Warga Negara Indonesia
Konsekuensi nilai yang terkandung dalam sila kemanusiaan yang adil dan beradab adalah menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia, menghargai atas kesamaan hak dan derajat tanpa membedakan suku, ras, keturunan, status sosial maupun agama. Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia, tenggang rasa, tidak semana-mena sesama manusia, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan (Darmodihardjo, 1996).
Berdasarkan penjelasan nilai sila kemanusiaan yang adil dan beradab di uraian sebelumnya. Penulis berpendapat bahwa nilai tersebut harus menjadi salah satu landasan kemerdekaan berpikir warga negara Indonesia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kemerdekaan berpikir yang penulis maksud yaitu dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, serta iman dan takwa. Berikut penjelasannya :
Pertama, nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil. Dalam hal ini, kita sebagai warga negara Indonesia yang multikultural harus mengembangkan pola pikir agar tidak bersikap apatis dan skeptis, demi terwujudnya keadilan dan kemajuan bangsa. Sebagai contoh yaitu menghormati hak asasi orang lain seperti mengantri dengan tertib, tidak menimbun barang dan/atau makanan ketika sedang mengalami kelangkaan, tidak berbuat curang ketika sedang ujian, serta mengeluarkan semua ide untuk kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi tanpa bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Kedua, nilai kemanusiaan yang beradab adalah perwujudan nilai kemanusiaan sebagai makhluk yang berbudaya, bermoral, dan beragama. Dalam hal ini, kita sebagai manusia yang diberikan akal oleh Tuhan Yang Maha Esa harus meningkatkan nilai spiritual, intelektual, moral, dan mental, guna mewujudkan keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh yaitu dengan cakap terhadap hukum, karena bangsa yang unggul adalah bangsa yang taat pada peraturan yang dibuat untuk memajukan peradaban guna meningkatkan kehidupan lahir batin setiap warga negara.
Oleh karena itu, landasan kemerdekaan berpikir bagi setiap warga negara Indonesia yaitu terdapat di dalam nilai-nilai sila Pancasila, khususnya pada sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Sudah seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia bisa mengimplementasikan kemerdekaan berpikir tersebut agar menjadi warga negara yang unggul, penuh cinta dan kebenaran, serta adil dan beradab untuk kesejahteraan dan kemajuan bangsa di kemudian hari.
Bersifat Menantang Dalam Sudut Pandang Intelektual
Karakteristik kedelapan dari berpikir komputasional adalah bersifat menantang dalam sudut pandang intelektual. Pada karakteristik ini, seseorang yang berpikir komputasional akan berusaha semaksimal mungkin dalam memahami dan menyelesaikan suatu masalah saintifik. Dengan kata lain, dengan berpikir komputasional, maka rasa ingin tahu dan kreativitas yang kita miliki menjadi terasah dengan baik.
Apabila rasa ingin tahu dan kreativitas sudah berkembang, maka ide dan gagasan untuk melakukan suatu hal atau memecahkan masalah akan berkembang juga. Selain itu, wawasan yang kita miliki dengan kehadiran sebuah rasa ingin tahu, bahkan kita juga mampu berpikir kreatif, sehingga tak akan pernah kehabisan ide atau gagasan.